CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Hi.. iT'z Me... ^ ShieLdA ^..

WeLcOmE To My HoMePaGe..

Senin, 27 Oktober 2008

Sembilan elemen jurnalistik


A. LATAR BELAKANG
Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18tahun di sana. Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.
Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

B. PENDAHULUAN
Sembilan Elemen Jurnalisme Bill Kovach
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
Yang dimaksudkan adalah bahwa setiap kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan, bukan kebenaran dalam tataran filosofis tapi kebenaran dalam tataran fungsional .
Contoh : tabrakan lalu lintas, ketika pembritaan dimulai terdapat banyak sekali informasi penting tentang jam berapa, dimana, no kendaraan, dll. Dihari kedua berita ditanggapi oleh orang lain. Hari ketiga adanya koreksi yang dibritakan. Dsb.
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara
Yang dimaksudkan adalah adanya sikap pro kepada masyarakat/ pada opini/ aspirasi masyarakat. Dengan adanya loyalitas terhadap warga negara ini dapat membentuk kepercayaan terhadap media massa.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:1. Jangan menambah atau mengarang apa pun;2. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;3. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;4. Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;5. Bersikaplah rendah hati.
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya.
Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam. Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Metode yang ini adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik dan benar juga dapat dipercaya.
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen darikekuasaan.
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi
Manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menguraikan rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
Sebagai contoh : motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya. Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita. Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Menurut Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.” Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.
Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.



0 komentar: