CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Hi.. iT'z Me... ^ ShieLdA ^..

WeLcOmE To My HoMePaGe..

Senin, 27 Oktober 2008

Sejarah Pohon randu dan pohon asam jawa

1. Pohon Randu/ kapuk

Kapuk randu atau kapuk (Ceiba pentandra) adalah pohon tropis yang tergolong ordo Malvales dan famili Malvaceae (sebelumnya dikelompokkan ke dalam famili terpisah Bombacaceae), berasal dari bagian utara dari Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia, dan (untuk varitas C. pentandra var. guineensis) berasal dari sebelah barat Afrika. Kata "kapuk" atau "kapok" juga digunakan untuk menyebut serat yang dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas Jawa atau kapok Jawa, atau pohon kapas-sutra. Juga disebut sebagai Ceiba, nama genusnya, yang merupakan simbol suci dalam mitologi bangsa Maya.

Biji Kapok yang berisi serat di dalamnya, Pohon ini tumbuh hingga setinggi 60-70 m dan dapat memiliki batang pohon yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m. Pohon ini banyak ditanam di Asia, terutama di pulau Jawa, Indonesia, di Malaysia, Filipina dan Amerika Selatan. Di Bogor terdapat jalan yang di sepanjang tepinya dinaungi pohon kapuk. Pada saat buahnya merekah suasana di jalanan menyerupai hujan salju karena serat kapuk yang putih beterbangan di udara.
Cerita Asal Usul Desa Randuagung, Kecamatan Kebomas
Pohon Randu Terbesar di Gresik
Konon di tempat tersebut jauh sebelum dijadikan pekampungan oleh masyarakat, terdapat sebuah pohon randu yang telah berusia sangat tua. Karena usianya yang telah sangat tua, pohon randu Jawa tersebut memiliki ukuran batang pohon yang amat sangat besar. Ada banyak cerita mistik dan angker seputar pohon randu yang mungkin terbesar di Gresik saat itu. Sehingga tidak seorangpun yang berani menebang pohon tersebut. Bahkan seorang dewasa yang tidak cukup memiliki nyali sekalipun, takut untuk sekedar mendekati pohon randu itu. Maklum konon katanya si empunya cerita, di pohon randu itu berdiam berbagai makhluk halus mulai clari kuntilanak, gundoruwo, jin clan dedemit-dedemit lain yang pada kesimpulannya berkesan mengerikan. Tuanya usia pohon randu dan ukuran batang pohon yang menurut masyarakat amat sangat besar beserta berbagai cerita yang melingkupinya, menjadikan masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pohon tersebut. Sehingga masyarakat sekitar menamai pohon tersebut dengan sebutan “randu agung”. Nama pohon tersebut pada akhirnya tidak hanya digunakan untuk menamai pohonnya saja, melainkan juga melekat pada lokasi dimana pohon randu tersebut tumbuh. Semakin berkembangnya kota Gresik khususnya setelah Sunan Giri berhasil mengembangkan Giri hingga mendapat pengakuan secara politis religius, mulailah pula ada masyarakat yang mendirikan rumah di sekitar pohon randu agung tersebut. Satu persatu rumah-rumah dibangun di sekitar lokasi itu hingga menjelma menjadi sebuah perkampungan yang diberi nama Randuagung. Bahkan saat ini daerah tersebut telah menjadi kelurahan yang ramai di tengah Kota Kabupaten Gresik dengan tetap mengabadikan nama pohon randu sebagai nama kelurahannya. Desa atau kelurahan tersebut kini bernarna “Randuagung”.
(sumber: http://www.gresik.go.id)
2. Pohon Asam Jawa
“Semakin tua, buahmu, batangmu, nilaimu, bahkan kekuatanmu semakin tinggi.”

Asam jawa adalah sejenis buah yang masam rasanya; biasa digunakan sebagai bumbu dalam banyak masakan Indonesia sebagai perasa atau penambah rasa asam dalam makanan, misalnya pada sayur asam atau kadang-kadang kuah pempek.
Asam jawa dihasilkan oleh pohon yang bernama ilmiah Tamarindus indica, termasuk ke dalam suku Fabaceae (Leguminosae). Spesies ini adalah satu-satunya anggota marga Tamarindus. Nama lain asam jawa adalah asam (Mly.), asem (Jw.), sampalok (Tagalog), ma-kham (Thai), dan tamarind (Ingg.). Buah yang telah tua dan sangat masak biasa disebut asem kawak.

"Asam" adalah nama umum yang dipakai untuk semua bumbu dapur pemberi rasa masam pada masakan, termasuk juga asam kandis dan asam gelugur. Nama "asam jawa" dipakai oleh orang Melayu karena dipakai dalam masakan Jawa. Tumbuhan ini sendiri didatangkan oleh orang-orang dari India.
Nama Tamarindus dan tamarind diturunkan dari bahasa Arab تمرهندي tamr hindī. Artinya kurang lebih: kurma India.
Pohon asam berperawakan besar, selalu hijau (tidak mengalami masa gugur daun), tinggi sampai 30 m dan diameter batang di pangkal hingga 2 m. Kulit batang berwarna coklat keabu-abuan, kasar dan memecah, beralur-alur vertikal. Tajuknya rindang dan lebat berdaun, melebar dan membulat.
Daun majemuk menyirip genap, panjang 5-13 cm, terletak berseling, dengan daun penumpu seperti pita meruncing, merah jambu keputihan. Anak daun lonjong menyempit, 8-16 pasang, masing-masing berukuran 0,5-1 × 1-3,5 cm, bertepi rata, pangkalnya miring dan membundar, ujung membundar sampai sedikit berlekuk.
Bunga tersusun dalam tandan renggang, di ketiak daun atau di ujung ranting, sampai 16 cm panjangnya. Bunga kupu-kupu dengan kelopak 4 buah dan daun mahkota 5 buah, berbau harum. Mahkota kuning keputihan dengan urat-urat merah coklat, sampai 1,5 cm.
Buah polong yang menggelembung, hampir silindris, bengkok atau lurus, berbiji sampai 10 butir, sering dengan penyempitan di antara dua biji, kulit buah (eksokarp) mengeras berwarna kecoklatan atau kelabu bersisik, dengan urat-urat yang mengeras dan liat serupa benang. Daging buah (mesokarp) putih kehijauan ketika muda, menjadi merah kecoklatan sampai kehitaman ketika sangat masak, asam manis dan melengket. Biji coklat kehitaman, mengkilap dan keras, agak persegi.
Penyebaran dan ekologi
Asam jawa termasuk tumbuhan tropis. Asal-usulnya diperkirakan dari savana Afrika timur di mana jenis liarnya ditemukan, salah satunya di Sudan. Semenjak ribuan tahun, tanaman ini telah menjelajah ke Asia tropis, dan kemudian juga ke Karibia dan Amerika Latin. Di banyak tempat yang bersesuaian, termasuk di Indonesia, tanaman ini sebagian meliar seperti di hutan-hutan savana.
Pohon asam dapat tumbuh baik hingga ketinggian sekitar 1.000 m dpl, pada tanah berpasir atau tanah liat, khususnya di wilayah yang musim keringnya jelas dan cukup panjang.
Hasil dan kegunaan
Daging buah asam jawa sangat populer, dan digunakan dalam aneka bahan masakan atau bumbu di berbagai belahan dunia. Buah yang muda sangat masam rasanya, dan biasa digunakan sebagai bumbu sayur asam atau campuran rujak. Buah yang telah masak dapat disimpan lama setelah dikupas dan sedikit dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Asem kawak --demikian ia biasa disebut-- inilah yang biasa diperdagangkan antar pulau dan antar negara. Selain sebagai bumbu, untuk memberikan rasa asam atau untuk menghilangkan bau amis ikan, asem kawak biasa digunakan sebagai bahan sirup, selai, gula-gula, dan jamu.
Thailand juga menghasilkan asam jawa yang manis rasanya. Buah ini populer dan dimakan dalam keadaan segar; karena itu diekspor dalam bentuk polong yang belum dikupas.
Biji asam biasa dimakan setelah direndam dan direbus, atau setelah dipanggang. Selain itu, biji asam juga dijadikan tepung untuk membuat kue atau roti.
Di samping daging buah, banyak bagian pohon asam yang dapat dijadikan bahan obat tradisional. Daun mudanya (Jw. sinom) digunakan sebagai tapal untuk mengurangi radang dan rasa sakit di persendian, di atas luka atau pada sakit rematik. Daun muda yang direbus untuk mengobati batuk dan demam. Kulit kayunya yang ditumbuk digunakan untuk menyembuhkan luka, borok, bisul dan ruam. Kulit kayu asam juga digunakan sebagai obat kuat. Tepung bijinya untuk mengobati disentri dan diare.
Kayu teras asam jawa berwarna coklat kemerahan, berat, keras dan bertekstur halus, sehingga kerap digunakan untuk membuat mebel, kerajinan, ukir-ukiran dan patung. Bagi anak-anak di Jawa Tengah, kayu asam merupakan kayu pilihan untuk membuat gasing. Biji asam juga kerap digunakan dalam permainan congklak atau dakon.
Pohon asam biasa ditanam di tepi jalan sebagai peneduh, terutama terkenal di sepanjang jalan raya Daendels, dari Anyer hingga Panarukan.
Pelaut-pelaut Bugis pada masa lalu diketahui menanam pohon asam jawa di pantai utara Australia, di Northern Territory di saat mereka beristirahat menunggu datangnya angin untuk kembali ke daerah asal. Pohon-pohon asam jawa ini menjadi petunjuk kontak orang Aborigin setempat terhadap orang luar sebelum kedatangan orang Eropa.
Asal Usul Pohon Asam Jawa
Empat batang pohon asam jawa yang tak lagi bisa dipeluk dengan dua belah tangan berdiri kekar di titik pusat Hutan Adat Wonosadi. Terik matahari pada tengah hari, Minggu (15/6), tak berhasil menembus rimbunnya dedaunan di hutan itu. Hanya teriakan monyet ekor panjang, cicit merdu aneka burung, dan kelepak sayap ayam hutan yang sanggup memecah kesunyian. Gemericik air terdengar dari tiga sumber air mengalir melewati sela batuan dan akar pohon. Hutan di Dusun Duren, Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, ini
memiliki sejarah panjang hingga tetap bertahan di tengah maraknya
konversi lahan. Kisah yang disebut warga sekitar sebagai legenda itu
pula yang mampu menyelamatkan Hutan Wonosadi. Tak satu pun warga
hingga kini berani mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka.
Pohon-pohon yang mati tersambar petir saja tidak akan ditebang dan
dibiarkan menjadi humus.
Warga Wonosadi percaya hutan itu merupakan warisan sekaligus
titipan dari nenek moyang. Alkisah, selir dari Raja Majapahit
Brawijaya yang bernama Rara Resmi melarikan diri bersama dua
putranya, Gading Mas dan Onggoloco, seiring runtuhnya kerajaan Hindu
itu. Mereka berbaur dengan masyarakat Wonosadi, mengajar ilmu
kanuragan, dan diangkat menjadi pemimpin.
Onggoloco selanjutnya merintis berdirinya Hutan Wonosadi dengan
tujuan untuk pemenuhan kebutuhan air penduduk. Selain dikenal sebagi
pertapa yang kemudian moksa atau mati dengan raga menghilang di
hutan, Onggoloco terkenal lucu, jujur, sekaligus berbakat seni. Dia
pula yang mengajari warga memainkan kesenian rinding gumbeng dari
Kerajaan Majapahit. Hingga kini, warga masih melestarikan seni tiup
bilah bambu ini.
Warisan Secara turun-temurun, generasi tua selalu mewariskan petuah dari pendahulu mereka untuk menjaga Hutan Wonosadi. Mereka menegaskan,
hutan itu hanya titipan untuk anak cucu. Jika merusak, warga percaya
akan terkena karma. Menurut Ketua Penghijauan Hutan Wonosadi Sudiyo,
sebagian warga sempat berupaya mencuri kayu, tetapi malah tertimpa
kemalangan. SD Negeri Bejiharjo II yang dibangun dengan kayu dari
Wonosadi, misalnya, kemudian malah roboh.
Kesakralan legenda Hutan Wonosadi, lanjut Sudiyo, sempat ternoda
dengan adanya penebangan besar-besaran pada 1965. Ketika hutan telah
gundul, mata air tak lagi mengalir. Sejak 1966, warga secara
bergotong royong kembali menanami hutan dan mata air tak pernah
kering. Tradisi sadranan secara rutin digelar setiap tahun di tengah
hutan sebagai wujud syukur.
Hutan Wonosadi menempati lahan perbukitan seluas 23 hektar.
Warga juga menanami lahan milik pribadi di sekeliling hutan dengan
tanaman keras yang berfungsi sebagai hutan penyangga dengan luasan
25 hektar. Cukup banyak tanaman langka mulai dari anggrek hutan,
aneka tumbuhan obat seperti buah birit, cendana, hingga pohon
berusia lebih dari 500 tahun bisa dengan mudah ditemui.
Kecintaan terhadap hutan terus ditanamkan ke generasi muda. Yoga
Pangestu yang baru duduk di bangku kelas VI SD sering kali menemani
pengunjung untuk menyusuri hutan sembari belajar mengenal aneka
flora dan fauna. Padahal, untuk berjalan kaki keliling hutan dengan
medan perbukitan curam dan terjal, dibutuhkan waktu hingga lebih
dari 4 jam.
Tak hanya warga sekitar yang memperoleh manfaat dari Hutan
Wonosadi. Kalangan akademisi dari berbagai universitas di Yogyakarta
kerap mengunjungi lokasi tersebut untuk penelitian maupun sekadar
wisata pendidikan. Warga bermimpi, nantinya Hutan Wonosadi bisa
menjadi museum hidup sekaligus media pembelajaran. Namun,
infrastruktur jalan maupun petunjuk arah menuju hutan ini masih
tidak memadai.
Jauh sebelum manusia modern mendengungkan bahaya pemanasan
global, warga sekitar Hutan Wonosadi telah memiliki kesadaran tinggi
dalam memelihara hutan sebagai paru-paru dunia....(Mawar Kusuma)
Sumber: KOMPAS Jogja - Senin, 16 Jun 2008


0 komentar: